Saya siluman ngumpet berkarya demi isi hati saya hahaha

Jumat, 30 Mei 2025

Yang tak di undang


Setiap pagi, Arlan masuk kantor lebih awal. Bukan karena rajin—tapi karena tak tahan melihat wajah mereka saat ia datang telat. Wajah-wajah itu seolah berkata, "Kau tak layak di sini."


Dia duduk paling belakang. Bukan karena suka diam, tapi karena tak ada yang menyisakan tempat di depan. Meja kerjanya sempit, kursinya goyang, dan tak pernah ada yang protes saat peralatannya rusak. Seperti seisi kantor setuju: keberadaannya tidak penting.


Waktu ulang tahun, dia membawa donat untuk dibagi. Tak ada yang menyentuh. Mereka hanya tertawa bersama donat yang dibawa Lina, sekretaris yang semua orang puja. Arlan duduk di pojok, sendirian, menonton gula donatnya meleleh di atas meja tanpa disentuh.

Itu ulang tahunnya.

Tak satu pun mengucap.


Pernah suatu malam, ia pulang dan mendapati kaca jendela rumah kontrakannya pecah—tetangga bilang anak-anak muda iseng melempari. Polisi tak datang. "Cuma kos-kosan kumuh, biasa itu," kata mereka.


Di halte, saat ia menolong anak kecil yang jatuh, ibunya menarik si anak sambil berkata lantang, "Jangan sentuh dia!"

Arlan diam, menatap tangannya yang belum sempat bersih dari debu. Tangannya kotor. Mungkin seluruh dirinya juga.


Waktu ia coba bicara dengan HR tentang ketidakadilan yang ia rasakan, mereka memintanya "lebih sabar dan jangan terlalu sensitif." Seakan harga dirinya hanya ilusi yang terlalu ia percayai.


Malam itu, ia menulis satu kalimat di buku catatan kecilnya:


"Mungkin memang tak ada ruang untuk orang sepertiku di dunia ini."


Ia berpikir untuk menghilang. Diam-diam. Perlahan. Tanpa surat, tanpa pamit. Ia yakin, tak akan ada yang mencarinya.


Tapi suatu malam, di warung kopi sepi yang ia kunjungi karena tak ada tempat lain, ia bertemu seorang pria tua. Pria itu duduk di sudut, dengan tangan cacat dan wajah penuh bekas luka.


"Mereka tak pernah melihatku juga," kata pria itu, entah bagaimana tahu apa yang Arlan rasakan. "Tapi akhirnya aku sadar... aku bukan hantu. Aku hidup. Dan hidup itu, bahkan dalam kehinaan, tetap punya nyala."


"Nyala?" tanya Arlan, suaranya serak.


"Bukan buat mereka. Tapi buatku sendiri. Dan kadang, satu lilin kecil cukup untuk bertahan satu malam gelap."


Malam itu, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Arlan berjalan pulang tanpa rasa ingin menghilang. Luka-lukanya belum sembuh. Tapi ia mulai memandangnya sebagai bagian dari tubuhnya, bukan aib yang harus disembunyikan.


Karena mungkin… satu-satunya jalan keluar dari dunia yang menolakmu adalah berdiri, bukan agar diterima, tapi agar bisa berkata:


"Aku di sini. Meski tak kalian undang."

[24/5 12.26] Sigit Kurniawan: EPILOG: LIMA TAHUN KEMUDIAN...


Nara duduk di teras rumah kecilnya, ditemani langit senja yang menghangatkan pipinya. Angin sore menyisir rambutnya pelan, seolah menyapa dengan lembut, “Kau telah jauh melangkah.” Lima tahun telah berlalu sejak titik balik hidupnya—hari ketika ia memutuskan untuk tidak lagi memeram luka dalam diam.


Ia mengingat perjalanannya dengan hati yang penuh:


Terapi yang mengajarinya untuk mendengarkan suaranya sendiri, bukan untuk menghakimi, melainkan memeluknya.


Mindfulness yang mengajarkannya hadir—bukan untuk mengendalikan, tapi menerima.


Jurnal yang menjadi sahabat setia, tempat ia menumpahkan tangis, tawa, dan doa diam-diam.



Dari abu luka dan sunyi, Nara membangun dirinya kembali. Bukan menjadi sosok yang sempurna, tapi seseorang yang jujur pada dirinya. Dan dalam kejujuran itu, ia menemukan kedamaian.


Kini, ia duduk di sisi kehidupan yang baru—sebagai seorang ibu, seorang terapis, dan seorang manusia yang utuh. Ia membantu orang-orang yang dulu seperti dirinya: sunyi, takut, tapi diam-diam ingin sembuh.


SUARA DI HATINYA BERBICARA:

"Aku sudah menemukan cahaya dalam kegelapan.

Aku sudah belajar merasa, mengungkapkan, dan mengampuni.

Aku sudah utuh."


Tiba-tiba, pintu teras terbuka. Seorang anak perempuan berlari kecil dengan kaki mungil dan mata bersinar. Ia memeluk kaki Nara erat-erat.


"Ibu, aku cinta kamu!" katanya, polos dan tulus.


Nara tersenyum, matanya berkaca. Ia membungkuk, memeluk anaknya erat, seolah memeluk seluruh hidup yang pernah luka, dan kini tumbuh cinta.


"Aku juga cinta kamu, nak. Selalu."


Dan dalam pelukan itu, hidup pun terasa lengkap.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar