Saya siluman ngumpet berkarya demi isi hati saya hahaha

Jumat, 30 Mei 2025

Surat tak terkirim

Malam itu sunyi sekali.


Tidak ada suara TV. Tidak ada notifikasi ponsel.

Hanya detak jam dinding yang terdengar seperti nyanyian kematian yang pelan.

Di pojok kamar sempit yang lembab, Dina duduk memeluk lututnya. Cahaya dari layar laptop redup, hanya cukup untuk memperlihatkan wajahnya yang sayu dan bengkak karena terlalu sering menangis dalam diam.


Di layar, kursor berkedip.

Ia mengetik. Pelan. Penuh jeda. Penuh ragu. Tapi jujur.


> “Tuhan…

Kalau suara ini terlalu kecil, setidaknya lihatlah aku sebentar saja.

Aku capek. Tapi aku masih di sini. Masih napas. Masih pura-pura baik…”




Ia tak tahu kenapa ia menulis seperti itu malam ini.

Mungkin karena tak ada lagi yang bisa ia ajak bicara.

Atau mungkin, karena hari itu, seseorang di kantor berkata,

“Dina, kamu itu terlalu kuat. Gak pernah kelihatan capek ya?”


Dina hanya tertawa kecil saat itu. Tapi hatinya retak.



---


Ia dulu pernah mencoba bicara.

Pernah menangis di depan seseorang yang katanya peduli.

Tapi semua berubah ketika dia dianggap “terlalu sensitif”.

Sejak saat itu, Dina belajar—diam lebih aman.



---


Malam itu, ia terus menulis.


> “Aku juga ingin dipeluk. Walau tanpa kata.

Aku ingin ada yang duduk di sebelahku dan bilang:

‘Kamu boleh lelah. Aku di sini.’”




> “Tapi tak pernah ada. Tak satu pun.”




Tangannya gemetar. Tapi tak berhenti.

Ia tak sedang menulis untuk dibaca siapa pun.

Ini bukan status media sosial. Bukan surat untuk mantan.

Ini—adalah jeritan hati yang bahkan tak tahu lagi kepada siapa harus dikirim.



---


Di akhir suratnya, ia mengetik:


> “Tuhan,

Kalau aku tak bisa bersuara lagi,

bisikkan pada dunia bahwa aku pernah mencoba.

Pernah berharap. Pernah mencintai hidup.

Tapi aku tak pernah diajari cara menyelamatkan diriku sendiri.”





---


Lalu Dina menutup laptop.

Ia tidak menghapus tulisannya. Tidak juga menyimpannya.

Ia biarkan saja terbuka, seperti pintu kecil yang akhirnya ia buka… walau hanya sebentar.


Dan malam itu,

untuk pertama kalinya setelah sekian lama,

ia tidur sambil menangis—tapi juga lega.


Karena walau tak ada yang mendengar,

ia akhirnya berkata jujur pada dirinya sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar