Warungnya cuma pakai terpal biru, tiangnya besi bekas. Meja dari triplek lapuk, bangkunya miring. Tapi di sinilah tempat paling hangat di sekitar rel kereta. Warung kecil, tapi cukup untuk menampung diam.
Dia datang sore itu. Bajunya kusam, celananya digulung sampai betis. Sandalnya tinggal satu tali. Wajahnya gak minta dikasihani, tapi matanya jelas lelah.
Dia duduk, lama. Gak langsung pesan. Cuma lihat ke arah air mendidih di atas kompor.
Setelah beberapa menit, dia keluarin uang dari dompet sobeknya. Satu lembar dua ribuan, dilurusin dulu di atas paha. Lalu ditaruh di meja, pelan.
"Yang bisa dapet segini aja, Bang," katanya.
Aku gak nanya. Langsung tuang air, seduh kopi hitam, tanpa gula.
Kadang orang gak butuh banyak.
Cuma butuh didengar lewat keheningan.
Dia minum perlahan, satu teguk, dua teguk. Lalu lihat keluar warung, ke arah rel yang mulai dipeluk senja.
“Dulu saya sempat punya kios. Sekarang tinggal kopi pinggir jalan. Ya nggak apa-apa. Asal nggak nyusahin orang,” katanya, lebih ke dirinya sendiri daripada ke aku.
Aku cuma diam.
Di dunia yang bising ini, orang kayak dia sering kelewat.
Tahu diri, katanya.
Tapi sebenarnya dia cuma pengin dihormati… walau cuma dengan secangkir kopi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar