Sudah lama Raka lupa rasanya tertawa. Bukan yang sekadar basa-basi di obrolan kantor, tapi tawa yang meledak dari dalam dada, yang bikin air mata keluar bukan karena sedih, tapi karena bahagia.
Sejak ditinggal Ayra dua tahun lalu, Raka hidup seperti robot. Bangun, kerja, pulang, tidur. Hatinya tertinggal di masa lalu—di hari terakhir mereka duduk di taman, saling diam, saling tahu bahwa cinta mereka sudah tidak saling menyembuhkan, hanya menyakiti.
Lalu datanglah Alya, gadis tetangga barunya yang bawel, ceroboh, dan terlalu suka tertawa untuk ukuran orang yang hidup di dunia seserius ini.
Hari pertama mereka bertemu, Raka sedang mengangkat galon ke lantai dua. Alya muncul entah dari mana, menawarkan bantuan, dan tumpah sudah air setengah galon ke celana Raka. Alih-alih minta maaf, Alya malah tertawa sampai terbatuk.
Raka sebal. Tapi malam itu, saat berbaring, ia teringat suara tawa Alya—renyah, jujur, seolah hidup ini bisa ditertawakan tanpa harus merasa bersalah.
Hari-hari setelahnya seperti disusun ulang. Alya sering mengetuk pintu, kadang cuma mau bagi pisang goreng, kadang mau curhat soal tanamannya yang mati karena dia siram pakai kopi.
Raka masih tertutup. Tapi sedikit demi sedikit, tawa Alya menyusup ke dalam luka-lukanya. Bukan untuk menertawakan rasa sakit itu, tapi untuk menunjukkan bahwa hidup tak harus berat selamanya.
Sampai suatu sore, di balkon rumah masing-masing, mereka duduk dalam diam.
“Kamu tahu nggak,” kata Raka pelan, “aku pikir aku udah lupa cara ketawa.”
Alya menoleh. “Ternyata belum, kan?”
Raka mengangguk. “Ternyata… cuma butuh alasan buat ketawa lagi.”
Alya tersenyum. Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama, Raka tertawa. Bukan karena lelucon, bukan karena basa-basi. Tapi karena hatinya, akhirnya, bisa bernafas.
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar