Aku duduk di sudut kecil kepalamu,
tempat yang jarang kau datangi.
Sudut paling sunyi,
tempat suara-suara bising tak bisa masuk.
Aku... Pikiranmu yang tenang.
Ya, aku selalu ada di sini.
Tapi kau lebih sering bersama yang lain:
Pikiran khawatir,
pikiran takut,
pikiran terburu-buru,
pikiran gagal.
Mereka ramai. Aku diam.
Tapi hari ini, kau mulai lelah.
Dan saat semua suara itu berteriak,
kau menarik napas—dan di sela detik hening itu,
kau mendengarku.
> “Aku di sini,” kataku lembut.
“Tenang bukan berarti menyerah.
Damai bukan berarti bodoh.
Aman bukan berarti tak bergerak.
Aku adalah rumah—dan kau sudah terlalu lama merantau.”
Kau terdiam.
Ada rasa hangat yang tak kau kenal lagi.
Itu aku.
Bersama cinta yang tak menuntut.
Aku tak peduli siapa yang melukaimu.
Aku tak tanya kenapa hidupmu tak seperti rencana.
> “Cukup duduk.
Cukup hadir.
Dan rasakan... bahwa kau masih hidup.
Dan hidupmu, apa pun bentuknya,
masih pantas untuk dicintai.”
Aku tidak datang membawa solusi.
Tapi aku membawa pelukan.
Dan perlahan, suara-suara negatif itu…
menguap seperti embun kena matahari.
Kau tersenyum.
Itu senyum pertamamu hari ini yang tak dibuat-buat.
Dan aku tahu, kau akan kembali.
Karena setelah menjelajah ke mana-mana,
semua jiwa butuh pulang.
Dan aku,
Pikiran yang Tenang,
akan selalu jadi rumahmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar