Aku duduk di pinggir ranjang pagi itu. Udara belum benar-benar hangat, tapi aku merasa tubuhku tak terlalu berat seperti kemarin. Lalu ia datang. Bukan siapa-siapa—hanya sosok yang selalu duduk diam di sudut pikiranku, sejak dulu. Namanya ketakutan.
Dulu ia datang dengan suara keras, kadang berbisik, kadang berteriak. Ia menemaniku saat lampu mati, saat ditinggal sendiri, saat gagal menjawab pertanyaan hidup. Aku terbiasa dengannya. Bahkan kadang merasa, tanpanya aku mungkin tidak akan sewaspada ini.
Tapi pagi itu, ia berbeda.
"Aku hanya mampir," katanya. "Bukan untuk menetap."
Aku menatapnya. Matanya tidak lagi gelap. Malah lembut, seperti seseorang yang tahu dirinya tak dibutuhkan lagi tapi masih ingin berpamitan dengan baik.
"Aku pernah berjasa. Menjagamu dari bahaya, dari jatuh terlalu dalam. Tapi kamu sudah belajar mendengar dirimu sendiri sekarang. Sudah belajar memeluk rasa tanpa harus aku datang lebih dulu."
Aku mengangguk, tak ada dendam. Ketakutan bukan musuh, hanya teman yang datang terlalu sering dan tinggal terlalu lama.
"Kau boleh pulang," kataku. "Terima kasih sudah menjaga aku dulu. Tapi sekarang aku ingin hidup lebih ringan, lebih hadir."
Ia tersenyum, lalu berdiri. Sebelum pergi, ia menyentuh bahuku. Tak dingin, tak menyakitkan. Hanya seperti tangan seorang teman lama yang tahu, waktunya memang sudah selesai.
Dan pagi itu, aku merasa ruang di dadaku sedikit lebih lega
Tidak ada komentar:
Posting Komentar