Saya siluman ngumpet berkarya demi isi hati saya hahaha

Jumat, 30 Mei 2025

Pagar luka


Pagi masih sepi.

Tapi hatiku sudah ramai.

Ramai dengan rasa perih yang tak tahu ke mana harus ditaruh.


Sudah berapa lama aku tinggal di sini?

Tiga tahun? Lima?

Entahlah. Yang jelas, setiap detik seperti ditonton, dinilai, dijatuhkan.


> “Kok anaknya gak sekolah ya?”

“Orang tuanya kerja apa sih?”

“Pakai motor pinjem, ya?”

“Kok tiap hari bajunya itu-itu aja?”




Mereka tak bicara langsung padaku.

Tidak.

Tapi suaranya jelas, nyampe, dan sengaja dibiarkan meluncur.

Lewat teras.

Lewat jendela.

Lewat suara sengaja keras saat pura-pura ngobrol.


Aku pernah coba senyum.

Pernah sapa.

Pernah bantu.


Tapi kebaikanku seolah ditendang balik.


Aku hanya dianggap pengganggu pemandangan.

Orang yang “tidak tahu tempatnya”.

Yang “beda”.

Yang “tidak cukup layak” untuk dianggap satu warga.



---


Sakit.

Bukan karena kata-kata saja.

Tapi karena mereka begitu menikmati saat aku diam dan terluka.


Aku merasa seperti pagar tua yang semua orang lewati, injak, tapi tak pernah dirawat.


Kehidupan bertetangga itu katanya gotong royong.

Tapi aku merasa seperti satu-satunya yang harus gotong luka,

sementara mereka hanya duduk dan menghakimi.



---


Ada hari di mana aku menangis di kamar.

Suara-suara mereka masuk lewat celah genteng.

Mereka tak tahu betapa lidah bisa jadi senjata paling kejam.


Aku tak bisa pindah.

Tak punya uang.

Tak punya pilihan.

Jadi aku hanya... menahan.



---


Lama-lama aku belajar satu hal:


> Bahwa luka ini tidak akan hilang...

tapi aku bisa menjadikannya tameng.




Tameng untuk tahu,

mana manusia,

mana yang hanya wajah.


Tameng untuk tetap senyum,

walau aku tahu,

di balik senyumku, ada luka yang belum sembuh.



---


Penutup:

Dan suatu hari nanti,

bila ada orang lain yang seperti aku,

aku akan berkata:


> “Tak apa, kamu bukan sendiri.

Aku pernah berdiri di tempatmu.

Dan aku tahu, kamu kuat,

meski tak ada

Tidak ada komentar:

Posting Komentar