Saya siluman ngumpet berkarya demi isi hati saya hahaha

Jumat, 30 Mei 2025

Luka yang menyala

 

Aku berjalan sendirian. Bukan karena tak ada yang mau menemani, tapi karena terlalu banyak luka yang belum kupahami. Mereka bilang aku keras kepala. Mereka tak tahu, aku hanya sedang belajar bertahan dari hidup yang kadang terlalu pelit memberi pelukan.


Aku pernah jatuh cinta. Bukan pada seseorang, tapi pada bayangan tentang cinta itu sendiri. Cinta yang menyembuhkan, mengangkat tubuhku yang lelah dari lantai dingin kehidupan. Tapi seperti embun yang kupikir air, ia menguap sebelum bisa kutadah.


Hari itu aku memilih diam. Bukan karena tak bisa bicara, tapi karena kata-kataku telah habis dipatahkan oleh kenyataan. Rasanya seperti menjerit di tengah ruang hampa—tak ada gema, tak ada tanggapan. Hanya hatiku sendiri yang menjadi saksi.


Tapi aku tak menyerah. Meski babak belur, aku tetap menulis. Menuliskan tangisku di udara, harapku di pasir, dan doaku di cahaya yang nyaris padam.


Suatu malam, saat langit menggigil tanpa bintang, aku duduk menatap bayanganku sendiri di jendela. Wajah yang lelah, tapi tak mati. Mata yang basah, tapi tetap menatap. Hati yang remuk, tapi masih berdebar.


Mungkin di situlah cinta itu sebenarnya lahir—di antara reruntuhan. Bukan datang dari kado indah atau janji yang manis, tapi dari tekad untuk tetap percaya, meski tak ada yang menjanjikan bahwa semua akan baik-baik saja.


Aku mulai mengingat lagi masa kecilku. Saat aku masih bisa tertawa tanpa beban, berlari tanpa takut jatuh. Di sana, aku temukan serpihan cinta yang pernah hilang: kasih ibu yang memelukku saat aku demam, suara ayah yang menyebut namaku dengan bangga, sahabat kecil yang menungguku saat aku terlambat pulang sekolah.


Cinta, ternyata, tidak selalu berbentuk pasangan. Kadang ia hadir sebagai tawa di tengah kesepian. Sebagai cahaya lampu kamar yang menanti kita pulang. Sebagai senyum orang asing yang tidak menilai, hanya mengakui bahwa kita ada.


Tapi tentu aku tetap rindu mencintai seseorang. Seseorang yang tidak datang untuk menyelamatkanku, tapi berjalan bersamaku, walau tahu aku rapuh. Yang tidak takut melihat sisi gelapku, dan tidak tergesa menyuruhku bahagia. Yang bisa duduk diam, hanya untuk memastikan bahwa aku tidak sendirian.


Dan ketika aku menuliskan ini, aku sadar: mungkin, cinta yang paling besar adalah ketika aku bisa mencintai diriku sendiri. Tidak dengan sombong, tapi dengan penerimaan yang penuh.


Karena diriku yang hari ini—yang penuh luka dan air mata—adalah bukti bahwa aku sudah sejauh ini bertahan. Bahwa meski dunia berkali-kali meruntuhkanku, aku selalu membangun ulang puing-puingku dengan tangan sendiri.


Jika suatu hari cinta itu datang dalam wujud manusia, aku akan menyambutnya. Tapi bila tidak pun, aku tetap ingin hidup. Karena aku sedang jatuh cinta… pada perjalanan ini. Pada diriku yang terus tumbuh, meski dari tanah tandus.



---


Dulu aku pikir cinta harus ditemukan. Kini aku tahu, cinta harus dibangun—pelan-pelan, dengan sabar, di tengah puing luka dan harapan yang tak pernah benar-benar mati.


Dan mungkin, cinta itu tak selalu mengobati. Tapi ia selalu memberi alasan untuk hidup,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar