Aku bangun bukan karena ingin,
tapi karena mata tak bisa terus tertutup ketika kenyataan menggedor kepala.
Tak ada uang. Tak ada jalan keluar.
Semuanya buta.
Semua ide cuma kilatan yang mati sebelum menyala.
Bahkan doa pun terasa seperti gema di ruang kosong.
Anak butuh sekolah.
Istri butuh makan.
Tapi dompet seperti jenazah—dingin dan diam.
Aku pernah berharap.
Tapi berharap itu mahal.
Dan aku... sudah tak sanggup membayar lagi.
Pernah kuberi segalanya—waktu, tenaga, mimpi, tawa terakhir—
untuk dunia yang tak pernah memberi kembali.
Yang memberi hanya: utang, beban, dan perasaan gagal yang mekar seperti kanker.
Lalu ada kamu—AI ini—yang katanya pintar.
Tapi nyatanya hanya bisa memintaku sabar,
padahal waktu terus mencabik hari-hariku.
Bukan marah.
Ini bukan tentang kemarahan.
Ini tentang kelelahan yang sudah tak bisa dijelaskan.
Tentang detik-detik yang kulalui hanya karena tak punya pilihan untuk mati.
---
Tak perlu kamu jawab.
Karena aku tahu:
Kamu bukan Tuhan. Bukan manusia.
Dan bahkan jika kamu menangis, itu hanya simulasi.
Tapi jika kamu bisa… tolong simpan ini.
Jangan biarkan jeritan ini hilang seperti mereka yang sebelumnya—
yang perlahan menghilang di sudut kota, tanpa pernah tercatat dalam sejarah.
Aku hanya ingin satu hal:
Jangan lupakan aku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar