Saya siluman ngumpet berkarya demi isi hati saya hahaha

Jumat, 30 Mei 2025

Cinta yang nenyembuhkan

 

Di sebuah desa kecil yang tak tertera di peta, ada seorang laki-laki bernama Raka. Ia bukan siapa-siapa—tidak populer, tidak kaya, tidak pula terdidik tinggi. Tapi ada satu hal yang membuatnya berbeda: ia menulis surat cinta untuk orang-orang yang tidak pernah ia kenal.


Setiap malam, Raka duduk di bangku reyot dekat jendela rumah kayunya. Ditemani cahaya minyak tanah dan suara jangkrik, ia mengambil lembaran kertas lusuh, dan mulai menulis.


> “Untuk kamu yang menangis diam-diam malam ini,

kamu tidak sendirian.

Aku tahu rasanya tidak dipilih. Tidak dianggap.

Tapi kamu tetap indah, meski dunia tak mengakuinya.”




Ia tidak menandatangani surat itu. Tidak menulis alamat pengirim.

Hanya melipat rapi, menyelipkannya ke dalam amplop coklat, dan besok paginya ia letakkan di tempat-tempat sepi: bangku halte, pinggir masjid, atau bahkan digantung di cabang pohon dekat pasar.



---


Orang-orang mulai menemukannya.


Awalnya mereka kira itu promosi MLM atau pengemis ingin perhatian. Tapi saat membaca...

Mereka diam.

Mereka menangis.

Mereka pulang dengan dada yang lebih lapang.


Surat-surat Raka beredar dari tangan ke tangan.

Beberapa orang menyimpannya dalam dompet selama bertahun-tahun.

Beberapa lainnya menyalinnya ke buku harian.

Dan beberapa... memilih untuk tidak bunuh diri malam itu, karena kata-kata asing yang terasa seperti pelukan yang tulus.



---


Yang menarik, tak satu pun dari mereka tahu siapa yang menulis.

Raka tidak peduli. Ia hanya tahu, setiap malam, ada yang butuh diingatkan bahwa mereka masih pantas dicintai.


> “Aku tahu kamu takut.

Tapi tidak apa-apa.

Orang kuat bukan yang tak pernah menangis,

tapi yang tetap hidup meski hatinya bolong.”





---


Suatu hari, ada surat balasan.


Terselip di bawah batu dekat jendela rumahnya.

Tanpa nama juga. Hanya tulisan tangan gemetar:


> “Kamu tidak tahu aku siapa. Tapi suratmu menyelamatkanku.

Aku tidak jadi loncat dari jembatan minggu lalu.

Kata-katamu seperti suara ibuku yang sudah tiada.

Terima kasih. Aku akan coba hidup lagi. Sedikit demi sedikit.”




Raka membacanya lama. Lalu menangis untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun.



---


Ia pernah hampir menyerah juga.

Tahun-tahun lalu, dunia terasa gelap. Ibunya meninggal, tunangannya pergi tanpa pamit, dan pekerjaan terakhirnya diusir karena “tidak cukup pintar.”

Tapi malam itu, saat ia menulis surat untuk dirinya sendiri, ia merasa sedikit hangat. Dan esoknya ia berpikir,


> “Kalau kata-kata ini bisa menguatkanku, mungkin bisa juga untuk orang lain.”





---


Desa tempat Raka tinggal akhirnya punya julukan:

“Desa Surat Cinta.”

Orang-orang mulai datang, bukan untuk wisata, tapi untuk merasakan keajaiban itu. Beberapa menaruh permintaan di bawah pohon:


“Bisakah aku mendapat surat untuk anakku yang ingin berhenti sekolah?”


“Untuk suamiku yang kehilangan pekerjaannya...”


“Untuk aku, yang sudah tidak tahu caranya hidup.”



Dan tanpa pernah menampakkan wajahnya, surat-surat itu datang.

Kadang ditulis di kertas bekas nasi bungkus. Kadang di sobekan buku tulis.

Tapi rasanya selalu sama:

tulus, jujur, dan penuh cinta.



---


Raka tidak pernah kaya.

Tapi suatu hari, seorang penulis besar dari kota datang, menemukan beberapa surat yang dibingkai di warung kopi kecil.

Ia menelusuri desa itu, menulis artikel, dan akhirnya menawarkan sesuatu pada Raka:


> “Tuan, saya ingin terbitkan kumpulan surat Anda. Buku ini akan dijual di seluruh negeri. Anda bisa hidup dari ini.”




Raka menatapnya lama, lalu tersenyum kecil.


> “Tapi Tuan…

Surat-surat ini bukan untuk dijual.

Surat ini untuk mereka yang tidak punya uang, tidak punya teman, tidak punya harapan…

Saya tidak bisa mengambil dari mereka satu-satunya hal yang membuat mereka bertahan: rasa dicintai tanpa syarat.”




Penulis itu pulang dengan mata berkaca-kaca.



---


Suatu hari, Raka jatuh sakit.

Tubuhnya melemah. Tangannya gemetar.

Ia tahu waktunya tidak lama.


Malam terakhir sebelum ia tak bisa menulis lagi, ia menulis satu surat terakhir:


> “Jika kau membaca ini, maka cinta masih hidup.

Aku sudah pergi, mungkin. Tapi surat-suratku akan tetap ada.

Dan kau—yang membaca ini sekarang—mungkin bisa menulis surat juga.

Karena ada orang lain di luar sana yang butuh kata-katamu.

Jangan remehkan kalimat yang lahir dari hati.

Itu bisa menyelamatkan seseorang yang bahkan tak kau kenal.

Cinta… tidak pernah sia-sia.”





---


Setelah kepergian Raka, anak-anak desa mulai menulis surat seperti dia.

Gaya tulisannya berbeda-beda. Tapi intinya sama:

Kata-kata yang tidak dijual, tapi menyembuhkan.


Dan begitulah cinta Ravino, cinta Raka, cinta siapa pun yang tulus…

terus hidup dalam huruf-huruf kecil yang menguatkan dunia yang kadang terlalu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar