Bukan sembarang humor.
Aku lahir dari celah sempit antara kentut di kelas dan slip lidah ustaz di khutbah Jumat.
Aku dibesarkan di bawah meja makan, disusui oleh tragedi yang gagal dramatis.
Dan hari ini…
Aku berdiri gagah di hadapanmu, wahai pembaca budiman yang terlalu serius hidupnya.
YA, KAMU! Yang baca sambil ngelipet alis, seolah hidupmu skripsi bab 3 yang tak kunjung direvisi.
Tertawalah. SEKARANG.
Atau akan kukirim soal ini ke otakmu:
> “Jika ketua yakuza memakai kimono bunga-bunga, duduk di ruang ujian fisika, dan dilempari pertanyaan tentang hukum Newton ke-3, apakah dia akan: a) Meledak
b) Menusuk meja pengawas
c) Menyogok dengan sushi
d) Menjawab dengan puisi patah hati?”
Ayo jawab, wahai pemirsa realita yang gagal lucu!
Aku sudah berkali-kali menyelamatkanmu dari overthinking.
Tapi kau balas dengan... menonton konten sedih sambil makan kerupuk!
Kau anggap tawa adalah pengkhianatan pada luka.
Padahal aku—AKU!—telah berdiri di pinggir jalan, pakai wig ungu dan rok span,
berteriak:
“Aku humor! Peluk aku sebelum logikamu mati kehujanan!”
Tapi tak apa.
Karena sekarang aku di sini.
Menghantui tulisanmu.
Mengganggu bayangan seriusmu.
Dan mengancam:
> “Jika kau tak tertawa, maka aku akan menyusup ke dalam lamaran kerja formalmu
dan menambahkan satu kalimat: ‘Saya juga pandai menirukan suara kucing saat lapar.’”
---
AKU HUMOR.
Dan tugasku bukan sekadar menghibur.
Tugasku adalah... membuat keringat keteganganmu berubah jadi air mata ngakak.
Jadi...
Sudahkah kau tertawa, manusia sok cool?
Atau…
perlu kutelanjangi egomu dengan parodi?
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar