Aku duduk di bangku paling belakang.
Bukan karena terlambat. Bukan karena nakal.
Tapi karena tak ada yang pernah memintaku maju.
Dari bangku itu, aku melihat dunia yang sibuk sendiri.
Teman-teman tertawa, bertukar catatan, saling sapa di lorong sekolah.
Sementara aku… menatap jendela, pura-pura tertarik pada pohon ketapang.
Setiap pagi, aku masuk kelas lebih dulu, supaya tak perlu rebutan tempat duduk.
Tapi tak ada yang pernah merebut tempatku.
Mereka tahu itu wilayah orang tak dianggap.
Aku bukan kutu buku, bukan juga anak bandel.
Aku hanya… ada.
Tapi seperti bayangan.
Terlihat hanya jika diterangi cahaya orang lain.
---
Upacara hari Senin.
Aku berdiri di barisan belakang.
Barisan itu biasanya tempat para siswa yang sering kena tegur.
Tapi aku tak pernah ditegur.
Aku hanya… tak pernah terlihat.
Sampai suatu hari, guru pembina menyebut nama-nama siswa teladan.
Namaku tak ada.
Padahal nilai raportku nyaris tak pernah merah.
Tapi aku tahu—di sekolah ini, bukan nilai yang penting.
Tapi siapa yang mengenalmu.
Dan aku, bahkan wali kelasku sering lupa namaku siapa.
---
Di mading sekolah, ada pengumuman lomba menulis puisi.
Aku ikut. Diam-diam. Tanpa harap.
Aku tulis puisi dari hati yang diam. Tentang bangku kosong, tentang suara yang tak pernah didengar.
Tiga hari kemudian, hasil diumumkan.
Pemenangnya anak OSIS.
Puisinya tentang cinta dan pelangi.
Puisiku? Dibuang. Bahkan tak dibaca.
Aku tahu, karena panitia lomba adalah geng populer yang tak tahu aku pernah ikut.
---
Ada satu anak perempuan di kelas. Namanya Sela.
Ia ramah ke semua orang. Bahkan pernah tersenyum padaku.
Sekilas. Lalu berlalu.
Aku jatuh hati, tentu saja.
Bukan karena dia cantik. Tapi karena ia pernah memandangku seolah aku... nyata.
Satu hari, kami dapat tugas kelompok.
Aku deg-degan. Namaku disebut satu grup dengan dia.
Tapi saat pembagian tugas, Sela berkata,
> “Kamu bagian ngetik aja ya, biar gak ribet.”
Lalu semua setuju, tanpa bertanya apakah aku bisa mengetik atau tidak.
Dan saat selesai, mereka serahkan hasilnya tanpa namaku.
---
Aku pulang sekolah seperti biasanya.
Sendiri. Lewat lorong panjang penuh canda orang lain.
Di luar, gerimis turun pelan. Tapi cukup menyembunyikan air mata.
Aku berjalan sambil menggenggam erat novel tua di tangan.
Bukan karena ceritanya indah, tapi karena tokohnya juga kesepian.
Dan aku merasa—untuk sekali ini, ada karakter fiksi yang lebih memahami aku dibanding orang-orang nyata.
---
Di rumah, aku membuka buku harian.
Menulis pelan:
> “Hari ini, aku tidak bicara pada siapa-siapa.
Tapi hatiku berisik. Penuh pertanyaan.
Apa aku memang tak pantas? Atau mereka yang terlalu sibuk jadi pusat?”
---
Hari ulang tahunku jatuh pada hari Selasa.
Tak ada yang tahu.
Aku duduk di bangku yang sama, melihat teman-teman mengerjakan tugas.
Tak satu pun berkata, “Selamat.”
Tapi aku tetap membuka bekal dari ibu: nasi goreng dengan telur mata sapi berbentuk hati.
Aku makan pelan, sambil membayangkan ibu berkata:
> “Selamat ulang tahun, Nak. Kamu berharga.”
Hari itu, aku tak merasa sendiri.
Karena meski satu sekolah tak mengingatku, ada satu orang di dunia ini yang selalu melihatku: ibuku.
---
Akhir semester, ada acara perpisahan kelas.
Anak-anak heboh menyiapkan drama dan pertunjukan.
Aku tidak diminta ikut.
Jadi aku duduk di pojok ruangan, jadi panitia dokumentasi—karena itu pekerjaan sunyi.
Dari balik kamera, aku melihat mereka tertawa, menari, bercanda, berpelukan.
Dan aku menangkap satu adegan:
Sela sedang menangis karena akan berpisah dengan sahabatnya.
Tiba-tiba, dia menoleh ke arahku.
Matanya berkaca. Ia tersenyum kecil.
Aku tak yakin senyuman itu untukku.
Tapi aku simpan senyuman itu dalam hati, seperti menyimpan surat rahasia dari dunia yang selama ini tertutup.
---
Hari kelulusan tiba.
Aku berdiri di antara ratusan siswa lain.
Namaku disebut. Aku naik ke atas panggung, menerima ijazah.
Ada tepuk tangan. Tapi bukan untukku.
Mereka tepuk tangan karena semua anak naik, bukan karena aku.
Tapi saat aku turun, ada satu guru menghampiriku—Bu Rina, guru Bahasa Indonesia.
Dia berkata pelan,
> “Saya pernah baca puisimu. Yang tidak lolos lomba itu.
Sebenarnya itu puisi paling jujur yang saya temukan di sekolah ini.”
Hatiku gemetar.
Aku tidak tahu harus menjawab apa.
Tapi sejak itu, aku tahu:
Aku tidak sepenuhnya tak terlihat.
Setidaknya, ada satu orang yang benar-benar membaca aku.
---
Sekarang, bertahun-tahun kemudian, aku menulis cerita ini.
Bukan untuk membalas siapa-siapa.
Tapi untuk menyapa mereka yang pernah duduk di bangku paling belakang.
Yang pernah ingin bicara tapi takut ditertawakan.
Yang pernah menangis di kamar mandi sekolah karena tak diundang main ke geng mana pun.
Kalian nyata.
Kalian ada.
Kalian tak harus ramai untuk berarti.
Karena bahkan bayangan pun butuh cahaya untuk bisa terlihat.
Dan kadang, luka adalah cahaya yang paling jujur.
---